Bersedih untuk negara ini tapi aku tak akan berhenti disini masih banyak waktu untuk terus memperbaiki tak akan pernah menyerah dan tak akan pernah kehilangan harap untuk hal lebih baik.
Tulisan ini di ambil dari http://lib.geologi.ugm.ac.id/web/index.php?option=com_content&view=article&id=93:nasionalisasi-migas-ala-bolivia-&catid=1:latest-news , email seorang teman, Mohamad Khoirul Anam.
Nasionalisasi
Migas ala
Bolivia
|
Written
by Administrator
|
Monday,
19 September 2011 04:49
|
Kita tidak perlu
galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan Venezuela menghadapi koporasi
asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan komitmen kebangsaan. Mereka
adalah mitra, bukan majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus
lebih visioner, lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama jadi
bangsa miskin di tengah sumber daya alam melimpah.
***
Evo Morales (46) memenangi pemilihan presiden atau pilpres Bolivia pada Desember 2005 dan dilantik Januari 2006. Ia adalah penduduk asli Bolivia dari suku Indian Aymara, yang dalam kampanyenya menekankan perlunya pemilikan kembali rakyat Bolivia atas sumber daya alam, khususnya hydrocarbon (migas) yang selama itu dikuasai korporasi asing. Cadangan gas alam Bolivia ditaksir lebih dari 50 triliun kaki kubik dengan nilai lebih dari 70 miliar dollar AS, sementara penduduknya sekitar sembilan juta.belum lagi kekayaan alam seperti minyak, barang-barang mineral, dan kekayaan hutan. Morales menyatakan dirinya tidak gila jika bercita-cita memakmurkan rakyat Bolivia sejajar rakyat Swedia. Selama berkampanye, Morales berjanji sumber daya alam tidak dapat diprivatisasi, tidak boleh dikuasai korporasi asing, dan harus dilakukan renegosiasi (negosiasi ulang) atas seluruh kontrak karya pertambangan. Evo juga setuju bila perlu melakukan nasionalisasi tanpa konfiskasi, nasioanalisasi tanpa ekspropriasi, alias negosiasi tanpa perampokan. Dengan kata lain, akan ada kompensasi (ganti rugi) terhadap korporasi asing bila Bolivia terpaksa melakukan nasionalisasi. Di Bolivia ada 20-an korporasi asing bergerak di pertambangan migas, antara lain Repsol YPF (Spanyol), Petrobras (Brasil), Total (Perancis), Exxon (Amerika), British Gas (Inggris), dan Royal Dutch Shell (Belanda). Mereka mencoba menakut-nakuti Morales dengan gertak sambal. Katanya, Bolivia dapat dibawa ke arbitrase internasional dan rugi miliaran dollar AS karena berani mengotak-atik, bahkan menuntut negosiasi ulang berbagai kontrak karya dan bagi hasil yang telah ditandatangani. Akan tetapi, Morales bukan Si Peragu seperti dua presiden sebelumnya, Gonzalo Sanches de Lozada dan Carlos Mesa yang diusir rakyatnya karena menempatkan diri sebagai pembela kepentingan korporasi asing, bukan kepentingan rakyat Bilivia. Morales membangun axis of good atau poros kebaikan terdiri dari Bolivia, Venezuela, dan Kuba, untuk menyindir axis of evil atau poros kejahatan yang kata George Bush terdiri dari Korea Utara, Iran, dan Irak. Dalam wawancaranya dengan Der Spiegel, Morales mengatakan, reserve moral yang ia miliki terdiri dari trilogy sederhana: jangan mencuri, jangan bohong, dan jangan malas (do not steal, do not lie, and do not be idle). Korporasi asing tunduk Setelah lima bulan menjadi Presiden Bolivia, Morales melaksanakan janjinya. Tanggal 1 Mei 2006 tentara Bolivia menduduki 56 ladang gas dan minyak serta instalasi penyulingan di sekluruh negeri. Dekrit Presiden Nomor 28701 tentang nasionalisasi industri migas diterbitkan. Rakyat Bolivia lega, Presiden memenuhi janji. Dalam dekrit itu, antara lain ditegaskan, cadangan minyak dan gas Bolivia dinasionalisasi, 51 persen saham pemerintah yang pernah diprivatisasi di lima perusahaan migas pada tahun 1990 diambil kembali; seluruh perusahaan migas asing harus menyetujui kontrak baru yang ditentukan Yaciementos Petroliferos Fiscales Bolivianos (YPFB), perusahaan negara milik Bolivia dalam tempo 180 hari; gabungan pajak dan royalty yang diserahkan perusahaan gas asing yang memproduksi lebih dari 100 juta kaki kubik dinaikkan menjadi 82 persen dari sebelumnya yang hanya 50 persen dan mula-mula hanya 30 persen; Pemerintah Bolivia melkukan audit investasi dan keuntungan semua perusahaan migas asing di Bolivia untuk menentukan pajak, jumlah royalty dan ketentuan operasi di masa depan; dan tak kalah penting, migas hanya boleh diekspor setelah kebutuhan domestic Bolivia dipenuhi. Jika tidak setuju isi dekrit, perusahaan asing itu dipersilahkan meninggalkan Bolivia. Apa yang terjadi? Sehari sebelum tanggal, 29 Oktober 2006, semua korporasi besar yang beroperasi di Bolivia memilih tetap di Bolivia, tunduk kepada kemauan pemerintah, yang hakikatnya kemauan rakyat Bolivia. Evo Morales, seperti Hugo Chavez, Presiden Venezuela sebelumnya, membuktikan kekeliruan brain washing, menuntut renegosiasi kontrak karya yang merugikan rakyat mustahil dilakukan bila sudah ditandatangani. Keuntungan Bolivia Chavez dan Morales mampu menerobos kendala mental, moral, politik, dan ekonomi yang sengaja dipasang berbagai korporasi asing. Menurut Morales, berkat negosiasi ulang, Bolivia meraup satu miliar dollar AS, dan empat miliar dollar AS per tahun pada tahun-tahun berikutnya. Belum lagi jika renegosiasi kontrak nonmigas dan sumber-sumber non-renewable lain juga berhasil. Mengingat jumlah rakyat Bolivia hanya seperduapuluhdua rakyat Indonesia, perolehan Bolivia seperti jika Indonesia mendapat 88 miliar dollar AS per tahun. Rakyat Bolivia tentu lebih bahagia dibandingkan rakyat Bangdades yang salah satu putra terbaiknya meraih Nobel Perdamaian. Dan tentu lebih berbahagia dibanding rakyat Indonesia yang diberi tahu para pemimpinnya bahwa kontrak karya migas dan nonmigas dengan korporasi asing tidak bisa diubah.
Mengapa?
Katanya, jika menuntut negosiasi ulang, apalagi nasionalisasi industri migas
dan pertambangan, Indonesia bisa dikucilkan masyarakat internasional.
Katanya, investasi asing emoh masuk Indonesia. Selain itu, ada adagium pacta
sunt servanda, sekali kontrak di tandatangani, perlu dihormati “kesuciannya”,
meski menempatkan Indonesia for sale, dijual untuk umum.
Kita tidak perlu galak dan terlalu keras seperti Bolivia dan Venezuela menghadapi koporasi asing. Cukup dengan ketegasan, kemandirian, dan komitmen kebangsaan. Kita dapat melindungi dan menomorsatukan kepentingan korporasi asing. Mereka adalah mitra, bukan majikan kita. Namun, kepemimpinan nasional yang ada harus lebih visioner, lebih tegas, dan lebih berani. Kita sudah terlalu lama jadi bangsa miskin di tengah sumber daya alam melimpah. Andaikata pemerintah, DPR, dan berbagai kekuatan masyarakat bersatu menjadikan koporasi pertambangan asing sebagai mitra, negeri ini tidak perlu menjadi bangsa musafir yang tiap tahun bingung mencari utang luar negeri baru. Sementara itu kekayaan sendiri disodorkan untuk penjarahan asing. Jika direnungkan, Exxon dan Freeport Mc.Moran, misalnya keduanya bukan seperti a state above a state. Ingat, di Indonesia ada lusinan korporasi asing yang terus menyedot kekayaan migas dan non migas bangsa Indonesia. Sampai Sekarang.()
Makalah disampaikan pada Orasi Lingkungan “Selamatkan Indonesia”, pada 4 Juli 2008, diselenggarakan KMPLHK RANITA UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
sumber http://www.jatam.org/content/view/443/27/
|
0 komentar:
Posting Komentar