Ketika dia berhenti bertanya tentang dunia, tentang bagaimana terciptanya alam semesta, tentang kehidupan setelah kematian, tentang detik awal setelah ketiadaan, atau mungkin tentang keberadaan Tuhan dan akhirnya menerima jawaban “bahwa segala sesuatunya (yang dia pertanyakan) memang sudah selayaknya demikian”, diciptakan sang Pencipta lalu “menerima hidup sebagaimana semestinya” dan “menjalaninya dengan sebagaimana semestinya juga” hingga menjadi sangat “terbiasa” dengan segala sesuatunya yang pada akhirnya membuat dia merasa “biasa” dengan segala sesuatunya, terseret dalam arus realitas yang dikatakan Paulo Friere sebagai dimensi tunggal atau yang dikatakan Martin Heidegger sebagai dasman-hilang dalam massa yaitu ketidakmampuan untuk menghayati hidup atau yang dikatakan Jostein Gaarder dalam bukunya Dunia Shopie sebagai sesuatu yang mengarah ke apatis dan acuh tak acuh pada hidup.
Benarkah dia menjadi “biasa”?
Benarkah dia kehilangan kemampuan berpikir dalam frame yang lebih besar hanya berpikir dalam frame kecil yaitu bagaimana dia harus menyelesaikan hari ini membuatnya terlihat menjadi makmum dari budaya?
Benarkah demikian?
2 komentar:
Menurutku menerima bahwa kita tidak bisa memahami maksud dari Sang Maha Sempurna dengan pikiran kita yang tak sempurna ini adalah bentuk suatu kepercayaan dan pengakuan bahwa Sang Pencipta itu ada, dan itu bukan sekedar "biasa"^^
yah itu akan menjadi bagian dari pemakluman, Alice
Posting Komentar