Malam bersama Black
“jadi dikenal sebagai anak keras kepala?”
Aku mengangguk, kami memang telah lama saling mengenal, jalan pikiran kami mirip, sudut pandang kami tidak jauh beda itulah mengapa black tidak mengangap aku orang yang keras kepala.
“Ya, aku dikenal sebagai anak keras kepala di rumah, sulit merubah sikap dan tak kenal pendapat lain kecuali pendapat diri sendiri. Kakak dan Mama sudah sangat tau itu jika aku sudah diam dan tak bereaksi banyak, mereka akan membiarkan saja dengan kata lain ‘kamu udah gede bisa mikir sendiri’ ”
Black mengangguk tersenyum
“kamukan gak beda jauh sama aku black” ucapku
Dia tertawa “yup kita sama. Anehnya mengapa kita merasa kita adalah manusia yang paling bisa diajak bicara”
Hahaha… kali ini aku yang tertawa “ya, sebenarnya jika kita diajak bicara mengenai apa yang kita lakukan, kita akan bicara, tapi jangan pernah menghakimi kita dari awal bahwa apa yang telah kita lakukan adalah salah atau bodoh, kita lebih suka bicara mengenai mengapa, alasan sebenarnya dari apa yang kita lakukan. Yang kita inginkan adalah coba mengerti aku dengan pikiranku jangan mendeskriditkannya, jangan dikomparasi dengan pandangan umum atau standar pikiran mereka, ajaklah aku melihat sudut pandang lain jangan bikin pikiranmu jadi pikiranku, coba banyangkan jika mereka tidak ada kita bisa seperti anak ayam yang kehilangan induknya jika kita terus mengcopy pikiran mereka, tak bisa berpikir sendiri, manusia tanpa otak”
“dari kecil aku sudah bertanya sesuatu yang tak wajar seperti mengapa apa itu disebut apa, mengapa siapa itu terdiri dari huruf s-i-a-p-a dan bagaimana kita bisa mengerti ucapan satu sama lain, orang tuaku hanya diam” black tersenyum menggeleng lalu melanjutkan ucapannya “pernah suatu hari aku berdebat dengan seorang guru, dia menjelaskan sesuatu yang berkaitan dengan ideologi dengan sangat yakin dia berkata bahwa ideologi a salah, ideologi b salah dan ideologi c yang paling benar, kukatakan padanya bapak adalah seorang guru yang memperkenalkan banyak hal pada kami bukan mendoktrin pikiran kami bukan mencetak pikiran kami, biarkan kami bebas menilai karena itu yang akan membuat kami berpikir, setelah pelajaran itu aku dipanggil, guru itu bertanya siapa orang tuaku keesokan harinya ibuku bilang gak usah tanya yang macem-macem udah belajar aja yang bener. Semenjak itu aku jadi merasa aku aneh mengapa aku tak berpikir seperti orang lain berpikir”
“aku juga terkadang merasa terasing dari dunia jika sudah seperti itu aku jadi merasa aku punya dua kepribadian karena aku akan berbincang-bincang dengan diriku sendiri mengenai apa dan mengapa” ucapku
“akan lebih enak jika kita bisa berpikir seperti dunia berpikir” nada suara black semakin merendah
“jika seperti itu, hidup tak ada bedanya dengan kamus, mengamini tanpa mengerti apa yang telah tertulis”
“benci sekali dengan kalimat ‘kata orang seperti itu ya udah’”
“atau itu dosa, ntar masuk neraka trus waktu ditanya kenapa dosa?, kenapa masuk neraka? Mereka bilang ya gitu pokoknya” kataku melanjutkan
Kami tertawa “gak bertanggung jawab banget”
“yah buatku segala sesuatu pasti ada alasan logisnya, mengapa kita disini, mengapa kita berbeda, mengapa kita diberi kehidupan”
yah kita harus berpikir mengapa kita hidup jangan hanya menjalakannya saja untuk berakhir di kematian.