Butiran beras kembali mengisi karung-karung yang kosong itu dari tangan berbeda yang datang silih berganti diikuti dengan doa untuk sebuah kesabaran dan ketenangan. Matanya berkaca tapi tak ada tangis disitu, senyumnya tetap mengembang menyambut mereka yang datang. Dia menghampiriku setelah mereka berlalu, aku mengembangkan tangan dan memeluknya, dalam pelukan dia berbisik
“maafkan bapak untuk semua salah?”
“ya, sabar yah sayang”
Setelahnya kami duduk, dia bercerita mengenai yang terjadi, aku menyimak dengan sesekali bertanya. aku bisa melihat hatinya sangat kuat menghadapi semua ini.
“ini yang terbaik” katanya, membuatku mengerti "hati akan kuat jika kau mampu menerima segala kondisi dengan kepositifan pikiran."
Aku tersenyum mengangguk. Sesungguhnya aku tak menyangka dia bisa setegar ini, bisa sesabar ini, bisa setenang ini. sejak sekolah menengah pertama kami bersama, Peni sahabatku yang pintar matematika tapi selalu menyerah mengajariku matematika karena otak tumpulku, yang selalu bingung bertanya "yo opo iki? (bagaimana ini?)" dan aku selalu tertawa menanggapi pertanyaan kebingungannya "yo gak opo opo pen" (ya gak gimana, gimana pen). Bisa setegar ini, mampu sekuat ini. jika aku diposisnya sekarang aku tak yakin aku bisa sekuat dia.
aku belajar darinya untuk mampu menerima segala kondisi dengan kepositifan pikiran agar hati ku kuat untuk menjalini hidup. semoga aku bisa.
belajar tentang hidup dari seorang sahabat Triastuty Peni Anggraini.
4 komentar:
Wahh, kisah yg sangat menyetuh Fie..
Salam buat Peni ya.. :)
Ya Ald ^-^
Kisah yg ditulis setulus dan sepenuh hati. Singkat, sederhana, namun mampu menyampaikan berbagai perasaan. Pasti Peni bahagia membacanya, mengetahui kalau Fie sangat menyayangi dia :)
kami saling menyayangi Mba Me ^-^, makasih
go roundnya sampai sini, seneng deh Mba Me nge tripnya sampai sini. :D
Posting Komentar